Dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September
1960 merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia.
Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan
pertanahan di era pemerintahan colonial Belanda mulai ditinggalkan.
Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini
menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein
verklaringnya (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan
pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik
negara/ milik penjajah belanda).
UUPA
merupakan produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya perubahan dan
pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya
pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan pemerintahan
pada saat itu lebih diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat sebagaimana telah digariskan dalam Pasal 33 ayat UUD 1945, bahwa Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Untuk
mewujudkan hal tersebut diatas dilakukan suatu upaya reformasi di bidang
pertanahan (Landreform) yang pada waktu itu dikenal dengan Panca Program
Agrarian Reform Indonesia, meliputi :
1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi
hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum.
2.
Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi
kolonial atas tanah.
3.
Mengakhiri penghisapan feodal secara
berangsur-angsur.
4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta
hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam
mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaannya secara
terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Dengan
adanya Panca Program Agraria Reform Indonesia yang merupakan suatu perwujudan
kebijakan pemerintahan Orde Lama sebagaimana dituangkan di dalam UUPA tersebut
diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan mengenai agraria maupun
pertanahan. Akan tetapi dalam perkembangannya muncul berbagai permasalahan baru
yang kurang begitu diakomodir di dalam UUPA itu sendiri. Pelaksanaan
pembangunan nasional yang berkelanjutan merupakan permasalahan penting yang
mengketerkaitkan hubungan antara pemerintah sebagai penguasa, pemilik modal
(investor) dan rakyat. Karena di dalam pembangunan tersebut tidak tertutup kemungkinan
adanya suatu pola hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme)
antara penguasa dengan pemilik modal (investor) yang tidak memperhatikan
kepentingan rakyat dan bahkan dapat merugikan kepentingan rakyat.
Distorsi
yang memungkinkan terbangunnya hubungan simbiosis antara pemodal dan kekuasaan,
yang karena kekentalan dan kekuatannya meminggirkan rakyat sesungguhnya dapat
dilacak melalui tekad kekuasaan Orde Baru yang mempanglimakan ekonomi di awal
rezim ini. Pada periode Orde Baru kebijakan pertanahan lebih diarahkan untuk
mendukung kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pertanahan lebih merupakan bagian
dari pembangunan, tidak sebagai dasar pembangunan. Kebijakan pertanahan lebih
ditujukan untuk memfasilitasi kebutuhan pembangunan dan eksploitasi sumber daya
alam. Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru telah terjadi suatu pergolakan
orientasi terhadap pembangunan. Yang tadinya bersumber pada sektor pertanian
maka orientasinya kemudian menjadi industrialisasi dengan menekankan kebutuhan
ekonomi berbasis pada investasi asing dan juga eksploitasi SDA (sektor
ekstraktif).
Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dianggap oleh sejumlah pengamat sebagai
suatu produk hukum yang paling populis (lebih bernuansa pro kepada rakyat kecil
atau petani) di bandingkan dengan produk-produk hukum lainnya yang dibuat di
masa Orde Lama, Orde Baru maupun sampai sekarang ini. Di dalam perkembangannya,
UUPA dianggap sebagai undang-undang payung (umbrella act) dari
peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai agraria dan pertanahan.
Lahirnya undang-undang baru yang berkaitan dengan agraria dan pertanahan
diharapkan dapat meneruskan semangat UUPA yang lebih populis (berpihak pada
rakyat kecil terutama para petani). Akan tetapi dalam kenyataannya telah
terjadi ketidaksinkronan antara UUPA yang dianggap sebagai undang-undang payung
(umbrella act) dengan undang-undang sektoral yang berkaitan pula dengan agraria
dan pertanahan. Banyak ketentuan-ketentuan dari berberapa Undang-Undang
sektoral tersebut yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan di dalam
UUPA.
Munculnya
Undang-Undang sektoral tersebut lebih menitikberatkan pada arah kebijakan
pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil dan hanya
berpihak pada para pemilik modal saja (baik investor asing maupun domestik).
Misalnya kelahiran Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing, dengan adanya UU ini maka terlihat jelas adanya suatu pergerseran pola
orientasi pembangunan menuju ke arah industrialisasi dan investasi yang dirasa
tidak berpihak pada rakyat kecil. Kemudian muncul Undang-Undang No. 5 tahun
1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan sebagaimana telah diperbaharui dengan
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam peraturan tersebut, pengelolaan
hutan dan eksploitasi pertambangan banyak yang bertentangan dengan kebijakan
hak atas tanah sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPA. Ketentuan dalam
Undang-Undang kehutanan tersebut, masih memunculkan suatu sifat kepemilikan
hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Yang paling diperdebatkan pada pertengahan tahun 2005 ialah
munculnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dengan adanya peraturan
tersebut akan lebih mempermudah masuknya investasi pemodal asing ke Indonesia.
Sehingga kekuatan-kekuatan modallah yang akan bermain dalam penguasaan tanah di
Indonesia, hal ini tentunya akan berimplikasi rusaknya kemakmuran rakyat
terutama rakyat tani, khususnya pencabutan hak atas tanah. Dalam pengertian
pengadaan tanah untuk kepentingan umumpun juga belum ada penjelasan secara
detail siapa yang akan mengelola : negara, swasta atau rakyat. Sehingga
dikhawatirkan semua yang mengatur tentang pengadaan tanah ini lebih difokuskan
pada kepentingan swasta, bukan kepentingan rakyat. Sebagai contoh konkritnya,
setelah berlakunya Peraturan Presiden tersebut makin banyak kasus penggusuran
yang dilakukan oleh penguasa terhadap pemukiman warga yang terjadi di Ibu Kota
Jakarta dan berbagai daerah lainnya di Indonesia. Maraknya berbagai kasus
penggusuran tersebut menyebabkan terjadinya konflik kepentingan (Conflict of
Interest) antara kelompok-kelompok tertentu, dimana yang selalu menjadi korban
adalah rakyat kecil.
Ketidak
sinkronan materi muatan yang terkandung di dalam Undang-Undang sektoral dengan
materi muatan UUPA sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat menyebabkan
terjadinya konflik hukum (Conflict of Law). Hal tersebut tidak hanya terjadi
antara Undang-Undang sektoral dan UUPA, akan tetapi konflik hukum (Conflict of
Law) juga terjadi antara Undang-Undang sektoral itu sendiri. Salah satu
penyebab utama kegagalan UUPA sebagai undang-undang payung (umbrella act)
ataupun sebagai pohon peraturan perundang-undangan disebabkan karena materi
muatan UUPA lebih dominan mengatur masalah pertanahan, sehingga menimbulkan
kesan bahwa UUPA lebih tepat disebut sebagai Undang-Undang Pertanahan daripada
Undang-Undang yang mengatur secara komprehensif dan proporsional tentang agrari.
Meskipun harus diakui bahwa UUPA sesungguhnya juga mengatur tentang kehutanan,
pertambangan, minyak dan gas bumi, penataan ruang, sumber daya air, dan
lingkungan hidup. Namun pengaturan-pengaturan masalah tersebut belum jelas dan
tegas sebagaimana halnya
UUPA
mengatur masalah pertanahan. Selain hal tersebut, UUPA dirasakan belum dapat
mengikuti perkembangan yang ada serta mengandung beberapa kekurangan,
diantaranya adalah :
1.
UUPA belum memuat aspek perlindungan Hak Asasi
Manusia (HAM) bagi masyarakat, khususnya petani dan pemilik tanah serta
masyarakat adat;
2.
UUPA tidak mampu merespon perkembangan global,
khususnya perkembangan yang menuju ke arah industrialisasi yang menghendaki perubahan
dalam pengaturan pertanahan;
3.
UUPA belum menjelaskan secara tegas institusi
mana yang harus mengkoordinir pengelolaan dan pengurusan tanah, dan lain
sebagainya
Sebenarnya
apa yang telah dipaparkan di atas hanya merupakan sebagian kecil masalah yang
dihadapi dalam upaya penegakan UUPA, masih banyak permasalahan-permasalahan
lain yang timbul di dalam bidang agraria khususnya bidang pertanahan.
Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain :
1. Munculnya berbagai Undang-undang sektoral yang
tidak taat / tidak sesuai dengan asas-asas yang termuat di dalam UUPA.
2. Kurangnya pengakuan kedudukan masyarakat adat /
penduduk asli setempat (indigenous people) sebagai pemilik tanah adat di era
pembangunan. Sehingga banyak dari mereka yang menjadi korban pembebasan tanah
dalam upaya untuk mewujudkan pembangunan;
3. Kurangnya pensertifikatan tanah di Indonesia,
dari kurang lebih 85 juta bidang tanah yang ada di Indonesia, baru 25 juta
bidang tanah yang telah bersertifikat (baru sekitar 30 % dari keseluruhan bidang
tanah yang ada di Indonesia). Selain itu juga permasalahan munculnya sertifikat
ganda dalam satu bidang tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN). Hal tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya sengketa
pertanahan di Indonesia;
4. Timbulnya konflik kewenangan dalam hal
pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah setelah munculnya Undang-Undang Otonomi Daerah. Selain itu juga terjadi
konflik antar departemen/instansi, karena muncul berbagai macam
peraturan-peraturan sektoral yang saling bertentangan dan lebih cenderung
mengutamakan kepentingan masing-masing departemen/instansinya. Sehingga hal
tersebut sangat potensial mendatangkan ego-sektoral dalam hal pengelolaan
Sumber Daya Alam (SDA); dan lain sebagainya.
Dari
beberapa uraian permasalahan diatas, maka perlu dilakukan suatu penataan
kembali kebijakan-kebijakan untuk mengatasi segala permasalahan mengenai
agraria maupun pertanahan dalam upaya untuk meneruskan cita-cita Reformasi
Agraria (Agrarian Reform) maupun Reformasi dalam bidang pertanahan (Land
Reform). Beberapa alternatif penyelesaian permasalahan tersebut diantaranya
penyempurnaan aturan-aturan mengenai agraria maupun pertanahan sehingga terjadi
keselarasan antara UUPA dengan beberapa Undang-Undang sektoral, perbaikan
kinerja departemen / instansi yang bergerak di bidang agraria khususnya di
bidang pertanahan, Salah satu upaya penting guna mewujudkan hal tersebut adalah
dilakukannya penyempurnaan (perubahan maupun amandemen) UUPA.
Pada
dasarnya upaya untuk melakukan penyempurnaan, baik berupa perubahan maupun
amandemen terhadap ketentuan-ketentuan UUPA sudah menjadi pembahasan sejak
dulu. Amandemen maupun perubahan terhadap UUPA telah diamanatkan dalam TAP MPR
No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
serta dalam Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan.
Dalam
upaya untuk menyempurnakan UUPA hendaknya perlu diperhatikan beberapa
pertimbangan sebagai berikut :
1. Pertimbangan naskah akademis sebagai dasar
penyempurnaan UUPA untuk kedepannya. Agar amandemen maupun perubahan UUPA
tersebut mampu menjadi instrumen hukum yang efektif, responsive, dan
antisipatif dengan zamannya, maka diperlukan naskah akademis amandemen yang
rasional komprehensif.
2. Penguatan dan penghormatan Hak Ulayat, untuk
kedepannya harus ada suatu penguatan terhadap hak ulayat sebagaimana yang telah
diatur di dalam UUPA. karena hal tersebut merupakan suatu upaya untuk mengakui
eksistensi keberadaan masyarakat adat / penduduk asli setempat (indigenous
people).
3. Penegasan pengaturan mengenai pembatasan tanah
pertanian dan tanah non-pertanian, karena dirasakan adanya kesenjangan
pemeliharaan dan pemanfaatan tentang tanah adat serta semakin jauh jarak dan
rentang antara miskin dengan kaya.
4.
Penegasan pengaturan mengenai pembebasan tanah,
sehingga di era industrialisasi pada masa sekarang ini pemerintah tidak hanya
mengutamakan kepentingan para investor saja. Pemerintah juga harus memperhatikan
kepentingan rakyat yang menjadi korban dari pembangunan, misalnya, dengan
memberikan kompensasi / uang ganti rugi yang layak serta relokasi bagi warga.
5.
Penyerasian UUPA dengan Undang-Undang sektoral
lainnya, sehingga tidak terjadi suatu pertentangan antara peraturan yang
mengatur masalah agraria maupun pertanahan.
6. Guna mengatasi permasalahan yang timbul di
bidang agraria dan pertanahan, berkaitan dengan kelembagaan maka perlu
dibentuknya Departemen Agraria yang akan membawahi berbagai urusan seperti :
urusan kehutanan, tata ruang, pertambangan, lingkungan hidup, minyak dan gas
bumi serta lain-lain yang urusan tersebut bisa diserahkan kewenangannya
setingkat Direktorat Jendral (Dirjen).
(oleh : Irvan
Surya Hartadi, SH)
BAHAN BACAAN
o
Budi Harsono,
Hukum Agraria Indonesia : sejarah pembentukan UUPA, isi dan pelaksanaannya,
Djambatan, Jakarta, 1999.
o
Endang Suhendar
dan Ifdhal Kasim, Tanah Sebagai Komoditas : kajian kritis atas kebijakan
pertanahan orde baru, Lembaga Studi dan Advokasi Masyrakat dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 1996.
o
Margarito Kamis,
Reformulasi Politik Hukum Agraria (Jurnal Hukum No: 13 Vol 7 2000 : Pembaharuan
Hukum Agraria), FH UII, Yogyakarta, 2000
o
Notonagoro,
Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, PT. Bina Akasara, Jakarta.
1984.
o
Rusmadi Murad,
Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Penerbit Alumni, Bandung, 1991.
o
Zairin Harahap,
Sinkronisasi Materi Muatan UUPA Dengan Materi Muatan Peraturan
Perundang-Undangan Sektoral, FH UII, Yogyakarta, 2006. (Makalah disampaikan
dalam diskusi panel ¿Urgensi Amandemen Penyempurnaan UU No. 5 tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Agraria¿ yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII
bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Footnote:
o
Lihat pasal 33
ayat (3) UUD 1945 Amandemen ke-IV
o
Budi Harsono,
Hukum Agraria Indonesia : sejarah pembentukan UUPA, isi dan pelaksanaannya,
Djambatan, Jakarta 1999, hal 3 ¿ 4.
o
Margarito Kamis,
Reformulasi Politik Hukum Agraria (Jurnal Hukum No: 13 Vol 7 - 2000 :
Pembaharuan Hukum Agraria), FH UII, Yogyakarta, 2000, hal 3.
o
Endang Suhendar
dan Ifdhal Kasim, Tanah Sebagai Komoditas : kajian kritis atas kebijakan
pertanahan orde baru. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta,
1996, hal 6.
o
Zairin Harahap,
Sinkronisasi Materi Muatan UUPA Dengan Materi Muatan Peraturan
Perundang-Undangan Sektoral, FH UII, Yogyakarta, 2006, hal. 5. (Makalah
disampaikan dalam diskusi panel ¿Urgensi Amandemen Penyempurnaan UU No. 5 tahun
1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria¿ yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII
bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia).